Example floating
Example floating

Toko Kosmetik, Obat Keras, dan Jejak Bekingan Oknum di Jakarta Barat

Laporan Khusus | Investigasi

obat daftar G
lipsus obat daftar G Jakarta (foto: Istimewa)

JAKARTA — Di balik etalase kaca sebuah toko kosmetik di bilangan Duri Kosambi, Jakarta Barat, remaja-remaja datang silih berganti. Bukan untuk membeli bedak atau pelembap wajah. Mereka datang demi sesuatu yang lebih mencemaskan: Alprazolam, Riklona, Xtremer, dan Tramadol—obat keras golongan G yang semestinya hanya bisa ditebus dengan resep dokter.

Tim menyambangi toko yang beralamat di Jalan Raya Duri Kosambi No. 156 itu pada pertengahan Juli 2025. Tidak ada papan nama apotek. Hanya tumpukan produk kecantikan di rak depan yang menutupi aktivitas sebenarnya. Tapi di dalam, transaksi obat keras berlangsung cepat dan tanpa prosedur medis apa pun. Cukup menyebut nama obat dan jumlah, pembeli bisa langsung membawa pulang barang yang biasa disalahgunakan untuk efek euforia dan penenang ekstrem itu.

logo

“Kami Sudah Lama Mengendus”

“Kami sudah lama mengendus praktik ini. Tapi yang kami khawatirkan, toko-toko semacam ini seolah-olah kebal hukum,” kata Muali RG, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) DKI Jakarta Barisan Rakyat Lawan Korupsi Nusantara (Bararak Nusantara), ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (22/7).

Muali menunjukkan sejumlah dokumentasi dan laporan warga mengenai aktivitas mencurigakan di sejumlah toko kosmetik dan kelontong di Jakarta Barat. Dari pengamatan Bararak, modus mereka nyaris seragam: menyamarkan toko sebagai gerai kosmetik atau toko kebutuhan rumah tangga, tapi di dalamnya menyimpan obat keras yang berbahaya jika disalahgunakan.

“Kami mencurigai ada bekingan. Ada oknum yang turut menikmati aliran uang haram ini. Kalau tidak, mana mungkin bisa bertahan lama,” ujar Muali. Ia juga mengklaim telah menyerahkan data temuan ke pihak kepolisian dan Kementerian Kesehatan.

Di Balik Lemahnya Pengawasan

Yudistira, Ketua Umum Bararak Nusantara, menyesalkan lemahnya pengawasan dari instansi terkait. Ia mendesak langkah cepat dan konkret dari Polri dan Kementerian Kesehatan.

“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini kejahatan yang mengancam moral dan kesehatan generasi muda,” tegas Yudistira.

Bararak menduga praktik serupa juga terjadi di berbagai titik lain di wilayah Cengkareng dan Kalideres. Mereka kini tengah menghimpun data lebih luas dengan bantuan warga setempat.

Ancaman 15 Tahun Penjara

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, peredaran obat keras tanpa izin resmi melanggar Pasal 197 jo. Pasal 106, yang dapat dijerat hukuman penjara hingga 15 tahun dan denda Rp1,5 miliar. Namun, penerapan pasal tersebut kerap mandek di meja penyelidikan.

Seorang aktivis kesehatan yang enggan disebut namanya menyebut, “Kasus seperti ini sering mentok karena pelaku dilindungi. Ada celah hukum dan lemahnya political will.”

Seruan Perlawanan dari Warga

Bararak bersama sejumlah ormas, tokoh masyarakat, hingga ulama, menyerukan perlawanan sipil terhadap peredaran obat keras ilegal di lingkungan mereka. “Kalau aparat lambat, masyarakat harus mulai bergerak. Laporkan, viralkan, awasi,” kata Muali.

Mereka juga tengah menyiapkan laporan resmi yang akan dilayangkan ke Komisi III DPR RI dan Ombudsman RI, guna mendorong audit terhadap pengawasan distribusi obat di Jakarta Barat.

“Kalau ini dibiarkan, jangan heran lima tahun ke depan kita panen generasi lumpuh,” ucap Yudistira.

(Bersambung ke edisi berikut: Siapa Beking di Balik Etalase?)

Reporter: Tim Lipsus DKI

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *