Example floating
Example floating

Penutupan Galian Tanah Merah di Lebak: Intrik Politik dan Jejak Restu Kades

segel galian tanah merah di sukamanah

Lebak (PIN) – Penutupan galian tanah merah milik PT Pancur Gading di Desa Sukamanah, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, yang dilakukan Pemerintah Desa bersama Satpol PP, ternyata menyisakan tanda tanya besar. Di balik segel dan spanduk larangan, terselip intrik kepentingan politik dan dugaan keterlibatan Kepala Desa Sukamanah, Aang.

Dalam pernyataannya, Aang mengaku sudah memperingatkan pengelola sejak sebulan lalu agar menghentikan operasi galian. Namun, menurut pengakuan warga, peran sang kades tidak sesederhana itu. “Saya yakinkan kalau yang memberikan izin awal itu adalah kades Sukamanah sendiri,” kata seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.

logo

Sejak awal, pihak pengelola disebut menjanjikan akan mendirikan yayasan di desa sebagai kompensasi aktivitas galian. Janji itu, menurut warga, menjadi “lampu hijau” bagi operasi tambang. Namun kenyataan di lapangan justru berbeda,  jalan jadi rusak, debu beterbangan, dan tanah merah yang tercecer memicu kecelakaan berulang.

Di musim penghujan, jalan berubah jadi arena licin. Motor jatuh, pengendara luka-luka, bahkan sempat ada korban yang harus dilarikan ke rumah sakit. Fakta ini yang akhirnya mendorong warga menolak keberadaan galian.

Intrik Politik di Balik Izin

Sumber lain menyebut, sebelum PT Pancur Gading masuk, sempat ada pengusaha lokal yang berniat mengelola galian tersebut. Namun karena pengusaha itu dianggap lawan politik sang kades, izin tidak pernah diberikan. Tak lama kemudian, PT Pancur Gading hadir dan operasi berjalan mulus.

Baralak Nusantara menilai ada indikasi bargaining politik dan ekonomi dalam kasus ini. “Ada konflik kepentingan yang kental. Penutupan yang dilakukan kades saat ini bisa dibaca sebagai manuver politik, bukan murni demi keselamatan warga,” kata M. Rizky, Ketua DPD Baralak Lebak.

Bagi Baralak, penyegelan yang dilakukan Pemdes Sukamanah tidak boleh menutup mata atas keterlibatan sang kades. “Kalau memang dari awal ada restu, maka kades juga harus diperiksa. Jangan sampai yang diadili hanya operator lapangan, sementara aktor yang memberi izin politik malah cuci tangan,” tegas Rizky.

Secara hukum, Baralak menegaskan para pihak yang terlibat bisa dijerat pasal berlapis:

  • Pasal 158 UU Minerba: menambang tanpa IUP, ancaman 10 tahun penjara.
  • Pasal 109 UU PPLH: usaha tanpa izin lingkungan, ancaman 3 tahun penjara.
  • Pasal 55–56 KUHP: penyertaan dan pembantuan tindak pidana, berlaku bagi pejabat yang memberi kesempatan atau melakukan pembiaran.
  • UU 28/1999: dugaan gratifikasi atau suap bagi penyelenggara negara.

“Jika kades terbukti terlibat, maka ia bisa dijerat dengan pasal penyertaan tindak pidana. Restu politik terhadap tambang ilegal sama saja dengan ikut menggali, ikut menikmati, dan ikut menjerumuskan warganya sendiri,” tambah Rizky.

Baralak menegaskan, penutupan galian tanah merah Sukamanah bukanlah akhir, melainkan awal dari penegakan hukum yang sesungguhnya. “Segel bisa dipasang, tapi tanpa proses hukum, operasi bisa dibuka kembali dengan wajah baru. Yang harus dipastikan adalah, aktor di baliknya diproses hukum,” ucap Rizky.

Menurut Baralak, Bareskrim Polri harus segera turun tangan, memeriksa PT Pancur Gading, koordinator lapangan, oknum aparat yang diduga menerima “koordinasi”, hingga kepala desa yang disebut-sebut memberi restu awal.

“Kasus ini bukan hanya soal kerusakan jalan atau kecelakaan motor. Ini tentang penyalahgunaan kewenangan, politik desa yang diperdagangkan, dan hukum yang selama ini membisu. Kalau penegakan hukum gagal, maka segel di Sukamanah tak lebih dari panggung sandiwara,” pungkas Rizky.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *