Example floating
Example floating

PDAM Lebak: Pelayanan Kian Terseok di Bawah PLT, Open Bidding Tak Kunjung Tuntas

PDAM Ilustrasi e1755796435723
Foto utama Penulis dengan background ilustrasi PDAM BAD SERVICE

Portalinformasinusantara,- Keluhan pelanggan Perumdam Tirta Kalimaya (PDAM Lebak) makin rutin, aliran sering mati berulang kali dalam sepekan, ketika mengalir pun keruh-kuning, dan jadwal pemulihan tidak jelas. Alih-alih membaik setelah periode kepemimpinan sebelumnya disoal—termasuk perkara dugaan korupsi perbaikan pompa—kinerja justru kian tak menentu di masa pelaksana tugas (PLT) yang berkepanjangan. Fakta di lapangan menunjukkan problem pelayanan sudah menjelma krisis tata kelola.

Sebagai warga kabupaten lebak, penulis juga merupakan pelanggan dari PDAM Lebak tentunya merasakan ada kejanggalan dengan terus berlarutnya kondisi pelayanan yang buruk yang akhirnya penulis melakukan analisa dari berbagai aspek berdasarkan observasi mulai dari kebijakan pemkab Lebak dan sampai sejauh mana kebijakan PLT dan kewajiban PLT dalam upayanya memperbaiki pelayanan.

logo

Kenapa masa PLT berkepanjangan itu krusial?

  1. Proses seleksi direksi berlarut. Sejak 2024 Pemkab Lebak menggelar open bidding. Pendaftaran sempat sepi hingga diperpanjang, lalu berlangsung Uji Kelayakan dan Kepatutan (UKK) di Unpad pada Juli 2024. Namun beberapa bulan kemudian, Pj Bupati menyatakan proses bisa dievaluasi bahkan dianulir. Hingga pertengahan 2025, perusahaan masih dipimpin PLT. Ini menandakan pengambilan keputusan strategis di level pemilik modal (Kepala Daerah sebagai KPM) tersendat berkepanjangan.
  2. Konsekuensi administratif dan legal. Ketika izin penggunaan air (SIPA) habis masa berlakunya pada 2024, Dewan Pengawas mengaku pengurusan perpanjangan tidak bisa diproses karena—sesuai ketentuan—harus diajukan Direksi definitif, bukan pengawas. Imbasnya, akses operasi dan anggaran berisiko terhambat. Ini contoh konkret bagaimana status “sementara” dapat mengunci hal administratif yang vital bagi kontinuitas layanan.
  3. Kewenangan operasional terbatas. Secara prinsip tata kelola BUMD (PP 54/2017) dan Permendagri 37/2018 menuntut proses seleksi transparan/terukur dan berujung penetapan direksi—bukan status PLT tanpa kepastian. Permendagri 37/2018 merinci tahapan seleksi (administrasi, UKK, wawancara) dan menegaskan proses berakhir saat seleksi selesai. Ketika seleksi “tak selesai-selesai”, ruang gerak korporasi terjebak mode perawatan (caretaker), bukan transformasi.

Layanan publik jadi korban pertama

Kontinuitas pasokan terganggu. Gangguan bergilir/mati air berulang menandakan kapasitas produksi–distribusi dan respons pemeliharaan yang rapuh. Situasi ini diperparah oleh perkara hukum terkait perbaikan pompa senilai miliaran rupiah yang masih disidik kejaksaan, hal tersebut menurunkan kepercayaan dan potensi memperlambat keputusan teknis karena sikap serba-hati-hati.

Kualitas air dan kehilangan air tinggi. Kebocoran/Non-Revenue Water (NRW) PDAM Lebak diberitakan mencapai sekitar 34%, angka yang selevel dengan rata-rata nasional (≈33–34%). Artinya, hampir sepertiga air yang diproduksi “hilang” sebelum menetes di keran pelanggan.

Baik karena kebocoran fisik, pencurian, atau metering buruk. Tanpa direksi definitif yang memegang kontrak kinerja tegas, program penurunan NRW cenderung stagnan.

Transparansi dan akuntabilitas melemah. Masa PLT berbulan-bulan (bahkan menyeberang tahun) memunculkan “grey area” akuntabilitas. PLT umumnya enggan mengambil keputusan investasi besar (penggantian pompa, re-zoning jaringan, digitalisasi SCADA) karena dianggap melampaui mandat sementara. Ujungnya yang menderita pelanggan.

Apakah harus ada direktur definitif dulu baru air lancar?

Direksi definitif bukan jaminan air langsung lancar besok pagi. Namun, pengalaman di banyak BUMD Air Minum menunjukkan kepemimpinan definitif adalah prasyarat minimum untuk:

  • Menandatangani izin/kesepakatan (SIPA, kerja sama energi, pinjaman perbankan, e-procurement),
  • Mengikat vendor dengan SLA (service level agreement) tegas,
  • Mengesahkan rencana kerja–anggaran (RKAP) yang agresif,
  • Dan menanggung risiko keputusan strategis (capex pompa, district metered area/ DMA, penggantian pipa tua).

Tanpa itu, unit-unit teknis akan terus “memadamkan api” alih-alih membenahi akar masalah.

Haruskah Lebak menunggu setahun untuk hasil open bidding?

Secara normatif, tidak ada batas waktu tegas dalam regulasi yang mewajibkan seleksi selesai dalam X hari. Tetapi semangat good governance di PP 54/2017 dan tata kelola kepegawaian BUMD mengandaikan proses seleksi efisien, transparan, dan berkepastian waktu.

Fakta bahwa pendaftaran diperpanjang karena sepi pendaftar, UKK sudah dilakukan pertengahan 2024, lalu proses “dievaluasi/anulir”,dan sampai sekarang 2025 masih PLT’ Menunjukkan persoalan ada pada disiplin keputusan pemilik modal (Kepala Daerah/Dewan Pengawas) untuk menutup proses—mengangkat yang terbaik atau membuka ulang dengan timeline pasti.

Penundaan setahun lebih, apalagi di sektor layanan esensial, sulit dibenarkan dari perspektif layanan publik.

Apa yang harus dilakukan—sekarang

A. 30 hari (pemulihan layanan & kepastian jabatan)

  • Tetapkan direktur definitif dari hasil UKK yang sudah ada atau, bila proses dinyatakan gagal, reset open bidding dengan tenggat jelas (mis. 60–90 hari) dan diumumkan ke publik hari-per-hari. Landasan: kewenangan KPM sesuai PP 54/2017, tahapan seleksi sesuai Permendagri 37/2018.
  • Perpanjangan SIPA harus selesai; jika ada hambatan administratif, KPM segera menerbitkan keputusan yang diperlukan agar dokumen sah diajukan oleh pejabat berwenang. Publikasikan status SIPA mingguan agar pelanggan tahu risikonya.
  • Rencana aksi gangguan: rilis jadwal pemadaman, suplai alternatif via armada tangki, dan kanal pengaduan 24/7 dengan SLA respon (mis. <4 jam).

B. 90 hari (fondasi teknis & transparansi)

  • Audit pompa & jaringan—pisahkan unit yang rawan, tetapkan prioritas penggantian berbasis risiko; selaraskan dengan proses hukum perkara pompa agar pengadaan baru tidak “beku”. Ringkasannya diumumkan ke publik.
  • Program NRW: bentuk 10–15 DMA prioritas, target penurunan NRW minimal 3–5 poin/tahun; pilot pemasangan meter induk & smart logger. (Angka target selevel praktik baik BUMD air).
  • Dashboard layanan publik: tayangkan real-time tekanan, jadwal pemeliharaan, progres pengaduan, dan hasil uji kualitas air per zona.

C. 6–12 bulan (pembiayaan & kontrak kinerja)

  • Kontrak kinerja direksi: indikator wajib—jam layanan, mutu (turbiditas/warna), tingkat NRW, tingkat kebocoran pipa tertangani, rasio pemulihan biaya, waktu tanggap.
  • Pendanaan: buka akses pinjaman perbankan/hibah/kerja sama (yang tertahan karena SIPA/kepemimpinan) untuk pembaruan pompa dan pipa tua; pilih skema yang memungkinkan SLA ketat kepada vendor.
  • Kepatuhan pengadaan: semua belanja teknis bernilai besar lewat e-procurement dan owner estimate yang diaudit; humas secara proaktif menjelaskan tiap paket besar agar tak lagi menjadi bola liar perkara hukum.
  • Perlindungan pelanggan: kebijakan kompensasi (potongan tagihan/air tangki gratis) bila aliran mati melewati ambang (mis. >24 jam) di luar force majeure.

Peran Pemerintah Daerah: tidak boleh netral

Kepala Daerah (KPM) bukan penonton. Ia memegang mandat untuk mengangkat/memperhentikan direksi dan memastikan target layanan publik tercapai. Pada situasi darurat layanan, menutup proses seleksi—bukan memperpanjang ketidakpastian—adalah wujud akuntabilitas. Kualitas air, jam alir, dan keluhan pelanggan adalah indikator kinerja pemerintahan, bukan semata urusan perusahaan daerah.

Dari fakta yang berhasil dikumpulkan, Penulis mengambil kesimpulan Lebak tidak perlu dan tidak pantas menunggu selama setahun hanya untuk sekadar kepastian siapa nakhoda perusahaan airnya sebab tanpa Direksi definitif pembenahan teknis dan administratif, termasuk perizinan dan pembiayaan akan terus tersendat.

Penulis masih memeperdalam kenapa Pelayanan pasokan air di PDAM Lebak makin buruk, air yang makin sering macet dan mutu yang jauh dari layak. Lalu apakah Pemkab Lebak akan mengambil keputusan bertele-tele sementara warga lebak yang menjadi pelanggan hanya akan terkena dampak dari keputusan penentu kebijakan dalam hal ini Bupati Lebak? ataukah memang ada kepentingan lain dan tangan-tangan “Dewa” yang akhirnya malah memperburuk pelayanan? Tunggu edisi selanjutnya.

oleh Yudistira, Penulis merupakan Pimpinan Umum dari PT PORTAL INFORMASI NUSANTARA sekaligus Ketua Umum dari Perkumpulan Barisan Rakyat Lawan Korupsi Nusantara

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *