JAKARTA | Portalinformasinusantara.com — Pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali melahirkan ketentuan krusial. Komisi III DPR RI dan pemerintah menyepakati aturan baru yang menegaskan bahwa pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental atau intelektual berat tidak dapat dijatuhi pidana, melainkan dikenai tindakan rehabilitasi atau perawatan.
Kesepakatan itu disampaikan oleh perwakilan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi RUU KUHAP, David, dalam rapat Panja Komisi III DPR RI dan pemerintah di Gedung DPR, Rabu (12/11/2025). Ia menjelaskan bahwa usulan tersebut berasal dari LBH Apik dan Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, yang menilai perlu adanya pengaturan tambahan untuk menjamin pemberian keterangan secara bebas tanpa hambatan bagi penyandang disabilitas.
Baca Juga: Pagar Nusa Dorong Fahmi Hakim Hadirkan Kebijakan Publik yang Bernafaskan Dakwah
David memaparkan bahwa usulan itu dituangkan dalam Pasal 137A RUU KUHAP.
Ayat (1) menyebutkan bahwa terhadap pelaku tindak pidana yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena penyandang disabilitas mental atau intelektual berat, pengadilan dapat menetapkan tindakan berupa rehabilitasi atau perawatan. Ayat (2) mengatur bahwa tindakan tersebut ditetapkan oleh hakim melalui sidang terbuka untuk umum, sedangkan ayat (3) menegaskan bahwa tindakan tersebut bukan merupakan putusan pemidanaan. Tata cara pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah (ayat 4).
Menurut Tim Perumus, ketentuan ini telah selaras dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, yang akan berlaku efektif pada 2 Januari 2026. “Ini mengakomodasi perlindungan bagi penyandang disabilitas mental untuk mendapatkan rehabilitasi, bukan pemidanaan,” ujar David.
Baca Juga: Hak Saksi Disabilitas Dipertegas, RUU KUHAP Melaju ke Paripurna sebagai Tonggak Reformasi Hukum Nasional
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy Hiariej), menyatakan pemerintah menyetujui usulan itu karena sejalan dengan prinsip pertanggungjawaban pidana dalam KUHP baru.
“Dalam KUHP Pasal 38 dan 39, penyandang disabilitas mental dianggap tidak mampu bertanggung jawab. Karena itu, putusannya bukan pidana, tetapi tindakan berupa rehabilitasi,” ucap Eddy.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa aspek mens rea atau niat jahat menjadi faktor kunci. Menurutnya, penyandang disabilitas mental tidak dapat dinilai memiliki niat jahat ketika melakukan tindak pidana.
Baca Juga: Pendamping Pastikan Kesaksian RU dan SF Benar Adanya: Mereka Punya Hak Didengar
Penolakan dan Kritik: Dinilai Keliru dan Stigmatis
Tidak semua pihak sepakat dengan rumusan tersebut. Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) menyebut ketentuan itu keliru dan berpotensi memperkuat stigma terhadap penyandang disabilitas mental.
Koordinator Advokasi PJS, Nena Hutahaean, menilai rumusan “tidak dapat dipidana” justru menyuburkan pandangan bahwa penyandang disabilitas mental tidak mampu membedakan benar dan salah serta layak dicabut kapasitas hukumnya.
“Saya menolak rumusan tersebut karena bertentangan dengan prinsip hak asasi dalam CRPD,” tegas Nena.
Ia menyoroti bahwa Indonesia telah meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) melalui UU Nomor 19 Tahun 2011, yang menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki kapasitas hukum setara dengan kelompok nondisabilitas.
Baca Juga: Kapolda Banten Dorong INKANAS Jadi Garda Pembentukan Karakter dan Bela Negara Generasi Muda
Nena juga mengkritik pemerintah yang merujuk Pasal 38 dan 39 KUHP baru. Menurutnya, kedua pasal tersebut tidak menyatakan bahwa penyandang disabilitas mental tidak dapat dipidana.
“Pasal itu hanya mengatur bahwa dalam kondisi kekambuhan akut, pidana dapat dikurangi atau diganti dengan tindakan. Ini berarti pertanggungjawaban pidananya tetap diakui,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa disabilitas mental bersifat episodik, bukan permanen. Karena itu, perlu dinilai apakah tindak pidana dilakukan dalam kondisi psikotik atau dalam keadaan sadar dan stabil.
“Penilaian ini penting karena menentukan ada atau tidaknya mens rea. Tanpa itu, proses hukum berisiko melanggar prinsip keadilan,” katanya.
Baca Juga: Sekjen Baralak Nusantara Bantah Isu Intimidasi: Jangan Giring Opini Publik Tanpa Fakta
Perspektif Pakar: Konteks Double Track System KUHP Baru
Pakar hukum pidana Albert Aries menyatakan bahwa putusan berupa tindakan harus dipahami melalui konsep double track system dalam KUHP baru, yakni adanya dua jalur: pidana (punishment) dan tindakan (measure).
Menurutnya, KUHP baru membedakan kondisi “tidak mampu bertanggung jawab” dan “kurang mampu bertanggung jawab”. Dalam kondisi akut dengan gejala psikotik, pidana memang tidak dapat dijatuhkan. “Namun, tindakan seperti perawatan di lembaga tertentu atau pemulihan terpadu dapat diterapkan sebagai bagian dari keadilan rehabilitatif,” ujar Albert.
Ia menambahkan bahwa bagi pelaku dengan kondisi “kurang mampu bertanggung jawab”, pemidanaan tetap dimungkinkan, meski disertai tindakan tambahan.
Baca Juga: Badak Banten Tegaskan Netralitas: Minta Publik Tak Terpengaruh Narasi TikTok King Kobra
Revisi KUHAP melalui Pasal 137A memunculkan dinamika tajam. Di satu sisi, pemerintah dan DPR menilai ketentuan tersebut merupakan bentuk perlindungan dan penyesuaian dengan KUHP baru. Namun, di sisi lain, kelompok advokasi penyandang disabilitas menilai rumusan ini berpotensi mereduksi kapasitas hukum dan memperkuat stigma.
Perdebatan tersebut menunjukkan bahwa pembaruan KUHAP masih membutuhkan dialog mendalam agar menjamin keadilan substantif bagi seluruh kelompok rentan.
Editor | Portalinformasinusantara.com















