Example floating
Example floating
Opini  

Ironi MBG: Makanan dari Dapur, Masalah Ditanggung Sekolah

1759054830885

Oleh: Dede Sudiarto | Bidang Pendidikan ICMI Banten
Portalinformasinusantara.comProgram Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak Januari 2025 dipromosikan sebagai terobosan besar pemerintah dalam mendukung pemenuhan gizi siswa sekaligus penguatan karakter peserta didik. Konsepnya terlihat sederhana: pihak penyedia makanan bertanggung jawab penuh atas pengolahan, pengemasan, hingga distribusi makanan bergizi ke sekolah, sementara sekolah hanya berperan sebagai penerima manfaat dan pengawas.

Namun, praktiknya jauh dari konsep ideal. Di berbagai daerah, penyedia makanan hanya sampai pada tahap pengantaran, sementara guru dan tenaga kependidikan dipaksa mengurus distribusi langsung kepada siswa. Hal ini menambah beban non-pedagogis guru, karena selain mengajar, mereka juga harus meluangkan waktu istirahat siang (isoma) untuk membagikan makanan. Bahkan, jika terjadi kerusakan atau kehilangan wadah, sekolah sering diminta menanggung kerugian.

logo
Baca Juga: Opini tentang Sanksi bagi Oknum ASN Kemenag RI yang Melakukan Perbuatan Asusila di Lingkungan Kerja

Lebih ironis, kasus keracunan massal akibat MBG terjadi berulang kali sepanjang 2025. Dari Sukoharjo, Batang, Pandeglang, Waingapu, Bogor, hingga Garut, ratusan siswa terdampak. Di Kota Bogor, 223 murid dari TK hingga SMA keracunan dengan 18 dirawat inap. Di PALI, Sumatera Selatan, 173 siswa menjadi korban, sedangkan di Garut jumlahnya bahkan mencapai 569 siswa.

Ironi semakin terlihat ketika muncul wacana agar guru dan kepala sekolah mencicipi makanan MBG sebelum diberikan kepada siswa. Pernyataan ini salah satunya datang dari Sekretaris Daerah Sleman, Susmiarto, yang kemudian menuai kritik luas hingga meminta maaf. Fenomena ini mengungkap kecenderungan mengalihkan tanggung jawab keamanan pangan dari penyedia kepada sekolah, padahal guru tidak memiliki kompetensi teknis di bidang tersebut.

Baca Juga: Tambang Batu Bara (dan/atau galian) ilegal di Kabupaten Lebak

Regulasi sebenarnya sudah jelas. Pemerintah melalui Badan Gizi Nasional (BGN), Dinas Kesehatan, dan BPOM telah menetapkan standar keamanan pangan yang wajib dipatuhi penyedia. Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari konsisten. Makanan sering datang tanpa pengawasan yang memadai, dan guru kembali dipaksa menjadi pelaksana distribusi.

Jika pola ini terus dibiarkan, MBG justru menimbulkan keresahan. Guru terbebani tugas tambahan, reputasi sekolah tercoreng, sementara penyedia makanan kerap lepas dari tanggung jawab. Ironi ini memperlihatkan lemahnya tata kelola: makanan memang dari dapur penyedia, tetapi semua masalah akhirnya ditanggung sekolah.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *