1 Oktober bukan sekadar mengenang tragedi kelam G30S, melainkan refleksi tentang kekuatan Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa yang tak lekang oleh zaman.
OPINI | Portalinformasinusantara.com – Setiap 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga tentang merawat ingatan kolektif bangsa terhadap kekuatan Pancasila dalam menghadapi berbagai ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri.
Sejarah mencatat, malam 30 September 1965 adalah salah satu tragedi paling kelam dalam perjalanan bangsa. Kudeta yang kemudian dikenal dengan Gerakan 30 September (G30S) merenggut nyawa enam jenderal Angkatan Darat dan seorang perwira muda. Mereka gugur sebagai korban keganasan konflik ideologi.
Baca Juga: Satpol PP Sudah Tegur, Tapi Mie Gacoan Rangkasbitung Tak Disegel, Ada Apa?
Para pahlawan revolusi itu adalah:
- Letnan Jenderal Ahmad Yani
- Mayor Jenderal Suprapto
- Mayor Jenderal S. Parman
- Mayor Jenderal M.T. Haryono
- Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan
- Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo
- Kapten Pierre Tendean
Jasad mereka ditemukan di sumur tua Lubang Buaya, Jakarta. Tragedi itu meninggalkan luka sejarah, namun dari sanalah lahir penegasan bahwa Pancasila adalah ideologi yang sakti, tak tergantikan, dan tak tergoyahkan.
Baca Juga: Presiden Prabowo Bongkar Penyelundupan Timah Babel: 80 Persen Produksi Hilang ke Luar Negeri
Makna Kesaktian Pancasila
“Kesaktian” dalam konteks ini bukan berarti Pancasila sebagai sesuatu yang mistis, melainkan simbol dari kekuatan, daya tahan, dan relevansi Pancasila dalam menghadapi setiap ancaman ideologi yang ingin menggantikan dasar negara.
Penetapan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila pada tahun 1966 merupakan keputusan historis: negara menegaskan bahwa Pancasila adalah satu-satunya ideologi yang mampu menyatukan keberagaman bangsa Indonesia.
Di era kini, Hari Kesaktian Pancasila sering diperingati dengan upacara formal di sekolah, instansi pemerintahan, maupun lembaga negara. Namun pertanyaannya: apakah makna peringatan ini benar-benar meresap ke dalam kesadaran masyarakat?
Baca Juga: HUT ke-25 Provinsi Banten, Gubernur Andra Soni Ajak ASN Tingkatkan Pelayanan Publik
Jika hanya menjadi agenda tahunan tanpa internalisasi nilai, maka Hari Kesaktian Pancasila akan kehilangan ruhnya. Sebab, esensi dari peringatan ini adalah menjaga agar bangsa tidak kehilangan arah, tetap berpegang teguh pada nilai persatuan, keadilan, dan kemanusiaan yang terkandung dalam Pancasila.
Hari ini, ancaman terhadap Pancasila mungkin tidak lagi datang dari kudeta fisik bersenjata seperti 1965, melainkan dari tantangan ideologi transnasional, radikalisme, disinformasi digital, hingga pragmatisme politik yang menggerus nilai kebangsaan.
Di tengah derasnya arus globalisasi dan perkembangan teknologi, generasi muda harus memahami bahwa Pancasila bukan sekadar hafalan lima sila, tetapi pedoman hidup berbangsa. Nilai gotong royong, toleransi, dan persatuan menjadi tameng menghadapi perpecahan yang bisa lahir dari polarisasi politik maupun konflik sosial.
Baca Juga: INKANAS Banten Gelar Gashuku 2025, Cetak Karateka Berkarakter dan Berprestasi
Hari Kesaktian Pancasila hendaknya tidak berhenti pada ritual peringatan, tetapi menjadi momentum untuk memperkuat karakter bangsa. Para Pahlawan Revolusi telah membayar harga yang mahal dengan darah dan nyawa mereka. Tugas kita hari ini adalah memastikan pengorbanan itu tidak sia-sia.
Generasi muda harus bangga dan teguh pada Pancasila. Para pemimpin bangsa wajib menjadikannya landasan kebijakan, bukan sekadar jargon politik. Dan masyarakat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, harus menjadikannya perekat persatuan di tengah perbedaan.
Karena pada akhirnya, Tanpa Pancasila, Indonesia Bukanlah Indonesia.