PortalInformasiNusantara.com – Lebih dari dua dekade dana Otonomi Khusus (Otsus) mengalir ke Papua. Infrastruktur dibangun, proyek-proyek raksasa digelar, dan sederet klaim keberhasilan diumumkan. 20 tahun dana Otonomi Khusus (Otsus) mengalir deras ke Papua. Jalan raya dibangun, proyek infrastruktur digarap, dan deretan klaim keberhasilan pembangunan diluncurkan. Namun, data dan kenyataan di lapangan berbicara lain: Papua tetap berada di posisi terbawah dalam hampir semua indikator kesejahteraan nasional. Namun, angka-angka resmi dan realita di lapangan menunjukkan Papua masih berada di peringkat terbawah kesejahteraan nasional.
Orang Asli Papua (OAP) tetap menjadi kelompok yang paling terpinggirkan dalam sistem ekonomi Indonesia. Pola pembangunan yang sama terus diulang, sementara hasil yang diharapkan tak kunjung datang.
Supiori, Potret Buram di Tengah Otsus Kabupaten Supiori, yang berdiri sejak 2003 dalam semangat Otsus, justru mencatat angka kemiskinan tertinggi di Papua: 37,91 persen. Pendapatan per kapita hanya Rp5,7 juta per tahun, sementara lebih dari setengah penduduknya kekurangan pangan.
Layanan pendidikan pun memprihatinkan—hanya 12 persen desa memiliki fasilitas pendidikan yang layak (BPS Supiori, Kemendes, Kemenkeu).
“Ini bukti bahwa dana besar dan status otonomi tidak otomatis berarti kesejahteraan,” ujar peneliti lokal.
Kemiskinan Tinggi di Seluruh Papua Riset Sumule dan Matualage (2024) dalam International Journal of Advanced Technology and Social Sciences menemukan, tidak ada satu pun provinsi atau kabupaten di Papua yang tingkat kemiskinannya berada di bawah rata-rata nasional. Bahkan, 17 kabupaten mencatat kemiskinan di atas 30 persen.
Kondisi ini menegaskan bahwa masalah yang dihadapi Papua bukan sekadar kegagalan daerah, melainkan kegagalan sistemik.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pertumbuhan ekonomi gabungan Maluku dan Papua pada kuartal II 2025 hanya 3,33 persen, terendah di Indonesia.
Sebagai pembanding, Jawa tumbuh 5,24 persen, sementara Sulawesi mencapai 6,83 persen. Pertanyaan mendasar pun muncul: jika Otsus benar-benar efektif, mengapa wilayah kaya SDA tetap tertinggal?
Daerah kaya investasi seperti Mimika—rumah bagi tambang emas dan tembaga terbesar—tetap mencatat kemiskinan akut. Teluk Bintuni yang memasok gas bumi dan Sorong yang dieksplorasi minyak sejak 1935, juga masih berjuang melawan ketimpangan ekonomi.
Nilai tambah SDA lebih banyak mengalir keluar Papua, sementara OAP hanya menerima residu berupa kerusakan lingkungan dan marginalisasi.
Pembangunan di Papua sering kali berhenti di infrastruktur tanpa membuka peluang nyata.
- Jalan dibangun, tapi hasil tani sulit dijual.
- Internet masuk, tapi produk lokal tak punya akses pasar.
- Sekolah berdiri, tapi guru absen dan kurikulum tak relevan.
Akibatnya, OAP justru dipaksa mengejar dunia yang tidak disiapkan untuk mereka.
Solusi Berbasis Adat dan Lingkungan Sumule dan Matualage merekomendasikan model pembangunan berbasis:
- Perlindungan lingkungan
- Penghormatan tanah adat
- Penguatan pendidikan dan kesehatan yang kontekstual
Contoh sukses datang dari inisiatif lokal seperti:
- Sekolah Sehari Penuh di Maybrat dan Sorong Selatan
- Sekolah Lentera Harapan di desa terpencil
- Program dokter terbang untuk pedalaman
“Bukan proyek mercusuar yang dibutuhkan Papua, tetapi program kecil yang menjawab kebutuhan nyata,” tegas para peneliti.
Papua tidak butuh lebih banyak investor asing. Papua butuh kedaulatan ekonomi dan perlindungan tanah serta hutan adat. Konsep dana abadi SDA harus menjadi hak antargenerasi, bukan hibah atau CSR sesaat.
Negara harus mendengar suara perempuan petani, guru di sekolah rusak, hingga anak muda yang ragu akan masa depannya di tanah sendiri—bukan hanya elite lokal di panggung seminar.
Papua adalah bagian sah dari NKRI. Namun, jika pendekatan Jakarta tetap mengabaikan kepentingan OAP, mengutamakan keamanan dibanding kesejahteraan, dan mengulang pola lama, maka masa depan persatuan jangka panjang terancam rapuh.
“Papua tidak menunggu belas kasih. Papua menuntut keadilan,” bunyi pesan yang terus digaungkan aktivis.
Keberanian untuk mempercayakan masa depan Papua pada imajinasi yang lahir dari tanah itu sendiri adalah langkah yang harus diambil sekarang. Jika tidak, Papua akan terus dibangun dengan dana besar—tetapi tidak pernah benar-benar tumbuh dari akarnya.