Example floating
Example floating

Di Bawah Cahaya Dzikir: Ketika Helaian Rambut Rasulullah Hadir Menyapa Bumi Banten

KH. Abah elang mangkubumi
KH. Abah elang mangkubumi

Laporan Khusus: Cikeusal, Kabupaten Serang

Malam itu, Sabtu (19/7/2025), langit Cikeusal terasa berbeda. Bintang-bintang seolah bersinar lebih terang, menyinari halaman Majelis Dzikir Bumi Alit Padjadjaran, tempat ratusan jamaah berkumpul dalam hening dan khusyuk. Di tengah gegap gempita zaman, di tempat sederhana namun penuh aura spiritual itu, berkumandang lantunan sholawat dan doa kebangsaan yang menggema hingga ke pelosok hati.

logo

Namun bukan hanya kekhusyukan yang menyelimuti. Ada sesuatu yang istimewa malam itu. Sebuah helaian rambut suci yang diyakini milik Nabi Muhammad SAW dihadirkan langsung oleh Rumi Center, menjadi magnet spiritual yang tak terbantahkan. Kehadirannya bukan sekadar simbol, tetapi juga pesan: bahwa mencintai Rasulullah adalah dasar utama mencintai tanah air.

Relik Suci, Spirit Abadi

“Ini bukan peninggalan biasa. Helaian rambut ini adalah wasilah. Ia membangkitkan kerinduan dan menggugah semangat kita untuk meneladani akhlak beliau dalam membangun bangsa,” ujar KH. Elang Mangkubumi, pengasuh Majelis Dzikir Bumi Alit, dalam suara yang tenang tapi penuh daya spiritual.

Para jamaah tak kuasa menyembunyikan keharuan. Beberapa menitikkan air mata, tak sekadar karena melihat helai rambut Nabi, tetapi karena mereka merasa sedang disapa langsung oleh keteladanan yang telah lebih dari 1.400 tahun menyinari dunia.

“Kalau Rasulullah begitu mencintai umatnya, maka umatnya pun harus mencintai bangsanya,” kata KH. Elang.

Spiritualitas yang Membumi

Acara bertema “Gemah Ripah Loh Jinawi, Toto Tentrem Kerto Raharjo” ini bukan hanya menjadi ajang dzikir dan doa, tetapi juga panggung bagi spiritualitas yang membumi. Hadir Al-Habib Naufal Al Kaff, ulama muda yang dikenal dengan dakwahnya yang damai, penuh cinta dan merangkul seluruh elemen bangsa.

“Cinta kepada Rasulullah harus menjelma dalam laku hidup. Menjaga persatuan, menebar kasih sayang, dan berjuang menegakkan keadilan. Itulah wujud sejati shalawat yang hidup,” ujar Habib Naufal dalam tausiyahnya.

Pesan kebangsaan berpadu dengan nilai-nilai ruhani. Dari mulai tari Sufi yang ditampilkan kelompok seniman dari Palembang—dengan gerakan dzikir berputar sebagai ekspresi cinta kepada Sang Khalik—hingga lantunan doa untuk bangsa, semua membentuk mozaik harmoni spiritual dan nasionalisme.

Doa untuk Pemimpin, Harapan untuk Negeri

Menjelang akhir acara, KH. Elang memimpin doa kebangsaan dengan suara bergetar. Ia memohon agar Indonesia menjadi negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, dan mendoakan Presiden Prabowo Subianto agar diberi kekuatan lahir batin dalam memimpin bangsa.

“Ya Allah, beri kami pemimpin yang adil, berjiwa kasih sayang, dan senantiasa meneladani Rasul-Mu dalam mengayomi rakyat. Satukan hati umat-Mu dalam cinta kepada-Mu dan cinta kepada tanah air.”

Tak sedikit jamaah yang menangis dalam doa itu—bukan karena sedih, tetapi karena harapan.

Menghidupkan Tradisi, Merawat Cinta Negeri

Di tengah perpecahan dan krisis moral yang kerap mewarnai dinamika bangsa, acara seperti ini menjadi oase rohani. Bukan hanya sebagai ruang doa, tetapi sebagai upaya menghidupkan kembali tradisi Islam yang mempersatukan, yang menjunjung tinggi toleransi, cinta damai, dan nasionalisme.

Rumi Center, yang selama ini konsisten menyuarakan Islam moderat, menyebut bahwa helaian rambut Rasulullah bukan sekadar artefak spiritual, tapi juga jembatan sejarah dan harapan.

“Dengan menghadirkannya, kami ingin mengingatkan bahwa kecintaan pada Nabi semestinya menjadi sumber inspirasi untuk merawat negeri ini,” ujar perwakilan Rumi Center.

Penutup: Pesan dari Bumi Alit

Majelis Dzikir Bumi Alit berharap bahwa tradisi Doa Kebangsaan ini bisa menjadi agenda rutin nasional. Tak sekadar seremonial, tapi sebagai pengingat bahwa membangun negeri tidak hanya soal infrastruktur dan angka statistik, tetapi juga tentang akhlak, jiwa, dan ruh kebangsaan.

“Negeri ini akan kuat, selama umatnya kuat dalam iman, rukun dalam kebersamaan, dan adil dalam kepemimpinan,” pungkas KH. Elang.

Malam itu, Cikeusal bukan hanya menjadi tempat berkumpulnya manusia. Tapi juga tempat bertemunya cinta pada Rasulullah dan cinta pada Indonesia. Sebuah pertemuan yang tak akan mudah dilupakan.

editor: Yudistira

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *