Abah H. Yoyo Yohenda Als Abah Uta salah satu tokoh masyarakat adat di Cistuh, memberikan penjelasan mendalam mengenai adat dan kasepuhan yang dianut oleh masyarakat adat Cisitu. Dalam penjelasannya, Abah menekankan pentingnya menjaga adat istiadat dengan tetap mematuhi tiga ketentuan utama, yaitu: ketentuan agama, negara, mokaha.
Mokaha dapat diartikan sebagai adat yang tercermin dalam tekad, ucapan, lampah, artinya konsistensi seseorang dapat di lihat dari cara mengimplentasikan niat, ucap, dan perbuatannya. keberhasilan tersebut menurut pandangan kami dapat dilihat dari kelestarian dan kesejahteraan masyarakat adat Cisitu itu sendiri.
Menurut Abah H. Yoyo Yohenda, untuk mewujudkan implementasi adat ini, penting bagi pemerintah untuk mengakui keberadaan masyarakat adat, salah satunya kasepuhan Cisitu sebagai amanah dari konstitusi UUD 1945 pasal 18b, UU No 41/99 tentang kehutanan BAB IX pasal 67, UU No 39/99 tentang hak azasi manusia pasal 6 ayat 1 dan 2, Universal Declaration On Rights Of Indigenous People (UNDRIP), serta ketentuan UU yang lainnya.
Kasepuhan adat cisitu dalam melaksanakan aktifitas kesehariannya harus memperhatikan ketentuan agama, negara, mokaha. Oleh karena itu, kami meminta kepada pemerintah untuk mengakui secara konsisten keberadaan masyarakat adat kasepuhan Cisitu terutama mengenai pengelolaan kawasan hutan adat Cisitu yang sudah nyata dan jelas dalam legal standing putusan MK No 35/PUU-X/2012 tanggal 16 mei 2013, dan SK penetapan kawasan hutan adat kasepuhan Cisitu nomor : 10083/MENLHKPSKL/PKTHA/PSL.I/12/2022, Tanggal 23 Desember 2022 seluas 1.967 hektare di dalam wilayah adat kasepuhan Cisitu.
Selain itu itu kasepuhan Cisitu menjadi salah satu penguji UU kehutanan yang hasilnya di kabulkan. Dalam keterangannya H. Yoyo Yohenda menyatakan bahwa “keinginan tersebut akhirnya mendapat perhatian dari pemerintah. Alhamdulillah, setelah melalui berbagai proses yang sangat panjang dan melelahkan akhirnya keberadaan masyarakat adat Cisituh diakui oleh pemerintah baik daerah maupun pusat”.
Pengakuan ini datang setelah pengakuan terhadap masyarakat adat Baduy oleh Pemda Jawa barat saat itu, yang menandai langkah maju dalam upaya melindungi dan melestarikan warisan budaya Indonesia, kasepuhan Cisitu merupakan yang pertama diakui keberadaanya oleh pemerintah kabupaten Lebak melalui SK bupati Lebak pada tahun 2010, kemudian diubah menjadi SK kolektif pada tahun 2013.
Selanjutnya Pemda Lebak menerbitkan Perda Nomor 8 Tahun 2015 yang mengakui hampir kurang lebih 500 kasepuhan di kabupaten Lebak, sehingga menurut pandangan kami keberadaan lampiran perda tersebut harus di perbaiki serta di sesuaikan dengan fakta dan data yang ada di lapangan.
Pengakuan ini disambut baik oleh masyarakat adat Cisitu yang selama ini telah berupaya menjaga kelestarian adat kasepuhan mereka. Dengan adanya pengakuan ini, diharapkan masyarakat adat Cisitu dapat terus mempertahankan adat dan nilai-nilai budaya mereka dengan lebih baik, serta mendapatkan perlindungan dan dukungan sepenuh hati yang layak dari pemerintah.
Abah H. Yoyo Yohenda, juga menyampaikan bahwa masyarakat adat Cisitu diperbolehkan untuk beradaptasi dengan metode modern demi menjaga kelestarian kawasan hutan dengan tetap memperhatikan ketentuan Agama, Nagara, dan Mokaha.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Kasepuhan Cisitu untuk menjaga kelestarian kawasan hutan adalah dengan mengurangi penggunaan kayu bakar dan beralih ke gas sebagai sumber energi. Selain itu, penggunaan atap rumah dan bahan bangunan lainnya juga diperbolehkan menggunakan tembok tujuannya adalah untuk mewujudkan “Leweung hejo rakyat ngejo” artinya hutan lestari rakyat sejahtera.
Dalam keterangannya Abah H. Yoyo Yohenda menyatakan: “Kalau masyarakat adat diharuskan terus menggunakan kayu bakar, bayangkan berapa banyak pohon yang harus ditebang oleh ribuan masyarakat adat di sini, dalam kurun waktu kurang lebih 50 tahun ke depan hutan kita dapat berpotensi habis,” jelas Abah H. Yoyo Yohenda.
Menurutnya, perubahan ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan alam dan memastikan hutan tetap lestari bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Dalam kesempatan yang sama, Abah H. Yoyo Yohenda juga menyampaikan bahwa kondisi sosial dan ekonomi masyarakat adat Cistu mayoritas bekerja sebagai petani, salah satu bukti bahwa kasepuhan Cisitu mayoritas sebagai petani dapat dilihat pada tahun 2012 yang lalu kasepuhan Cisitu peringkat ke 1 di kabupaten Lebak dan Banten dalam bidang ketahanan pangan, serta sebagai penerima penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara dari Presiden ke 6 RI di istana negara beberapa tahun yang lalu.
Selain bertani masyarakat adat Cisitu sambil menunggu masa panen, mereka memanfaatkan sisa-sisa lahan bekas tambang Cikotok seluas kurang lebih 2 hektare di Cikidang yang masuk dalam wilayah administrasi desa kujangsari dan wilayah adat kasepuhan Cisitu.
Kegiatan penambangan tradsional ini telah berlangsung lebih dari 30 tahun, namun hingga kini belum mendapatkan legalitas dari pemerintah padahal kami dari 31 tahun yang lalu telah menyampaikan adanya kegiatan tersebut kepada pemerintah pusat pada zaman Presiden Soeharto sebelum Banten menjadi propinsi, hal ini dapat di dibuktikan dengan adanya jawaban surat pemerintah pusat bernomor : B-331/Sekbang/4/1993 tanggal 13 April 1993.
Disamping itu kami juga sudah berulang kali menyampaikan kepada Pemda Lebak dan Pemda Banten melalui surat serta jawaban surat kami dari pemerintah kabupaten lebak melalui surat resminya, terkahir pada tahun 2017 yang lalu kami menyampaikan surat kepada Presiden Jokowi terkait kegiatan penambangan tradisional oleh masyarakat adat, selanjutnya surat kami ditindak lanjuti oleh Kementrian Sekretaris Negara RI melalui surat yang di tujukan kepada kementrian ESDM RI bernomor : B.4633/Kemensetneg/D-2/SR.00/09/2017 tanggal 19 September 2017,
Berdasarkan surat tersebut kemudian Kementrian ESDM RI mengundang kasepuhan cisitu melalui surat resmi bernomor : 2365/36.09/DBM.HK/2017 tanggal 14 Desember 2017 untuk di adakan pembahasan melalui rapat di kantor kementrian ESDM RI, hasil pembahasan tersebut kemudian kami mengusulkan untuk di tetapkan menjadi WPR, namun entah pertimbangan apa sampai sekarang usulan tersebut belum ada realisasinya.
“Kami sudah berupaya dan meminta agar tambang tradisional ini dilegalkan, tetapi untuk sementara pemerintah pusat belum mengabulkan untuk menetapkan sebagai wilayah pertambangan rakyat” terang Abah H. Yoyo Yohenda.
Ia menekankan bahwa legalitas tambang tradisional sangat penting bagi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat adat cisitu yang menggantungkan hidupnya dari aktivitas ini, dengan adanya aktivitas usaha tersebut dampak positifnya juga banyak, salah satunya masyarakat adat Cisitu bisa menyekolahkan anak-anak nya ke jenjang yang lebih tinggi, sampai saat ini sudah tercatat ada puluhan bahkan ratusan sarjan.
Pada saat ini secara berangsur-angsur masyarakat sebagian besar sudah meninggalkan aktivitas penambangan tersebut, selain itu masyarakat adat Cisitu pada saat melakukan aktifitasnya tidak merusak hutan karena alat yang digunakan sebagai penyangga merupakan kayu yang ditanam sendiri dari kampung.
Mengenai adanya statement hutan gundul itu memang benar adanya, namun hal tersebut bukanlah akibat dari kegiatan tambang rakyat melainkan dari bekas kegiatan aktivitas PT Aneka Tambang Cikotok di Cikidang beberapa tahun lalu.
Pengakuan resmi terhadap keberadaan masyarakat adat kasepuhan Cisitu yang datang dari pemerintah setelah pengakuan masyarakat adat Baduy, ini menjadi angin segar bagi upaya pelestarian adat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Cisitu.
Abah Yoyo Als Abah Uta berharap, pengakuan ini juga diikuti dengan perhatian lebih dari pemerintah terhadap berbagai asfirasi masyarakat adat, termasuk legalitas tambang tradisional yang sudah menjadi bagian dari kebutuhan untuk memenuhi keperluan kehidupan mereka termasuk biaya pendidikan dan kesehatan mereka harus mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.
Apabila ditinjau dari asas hukum yang berlaku dalam dunia hukum, dalam melakukan pengelolaan hutan adatnya tersebut ditujukan untuk kesejahteraan rakyatnya, masyarakat adat menganggap bahwa tujuan dari negara maupun masyarakat itu merupakan kesejahteraan sejalan dengan konsepsi welfare state dan asas hukum yang menjadi batu uji yakni “Salus populi suprema lex esto”, yang berarti kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah tujuan dari negara atau masyarakat, dalam masyarakat hukum adat dikenal dengan istilah “Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo”.
Penulis: Abah H. Yoyo Yohenda Als Abah Uta
Penulis merupakan Kasepuhan di tanah Adat Cisitu