LEBAK, (PIN)- Penyalah guna narkotika di Indonesia menghadapi nasib tragis dalam sistem hukum. Meski dalam perspektif victimologi mereka merupakan korban peredaran gelap narkotika sekaligus penderita adiksi, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 justru mengkriminalkan mereka sebagai pelanggar hukum.
Pasal 127 Ayat 1 UU tersebut menetapkan bahwa penyalah guna narkotika bagi diri sendiri harus diproses secara pidana, sementara Pasal 127 Ayat 2 seharusnya mengarahkan mereka ke rehabilitasi.
Ironisnya, dalam praktik pengadilan, banyak penyalah guna yang tetap dijatuhi hukuman penjara, bertentangan dengan tujuan utama UU Narkotika yang tercantum dalam Pasal 4: rehabilitasi bagi pengguna dan hukuman berat bagi bandar serta pengedar.
Hakim memang memiliki kewenangan untuk menetapkan rehabilitasi berdasarkan Pasal 103, namun kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa proses rehabilitasi sering kali diabaikan.
Fenomena ini menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan over kapasitas lapas yang telah berlangsung selama 30 tahun terakhir. Alih-alih mengatasi masalah narkotika, pemenjaraan terhadap penyalah guna justru memperburuk kondisi sosial. Jika kebijakan ini terus berlanjut tanpa perubahan, Indonesia berisiko menghadapi krisis generasi pecandu narkotika saat merayakan usia 100 tahun pada 2045.
Lalu, apa yang salah dalam penerapan UU Narkotika di Indonesia? Apakah hukum ini disalahpahami sebagai hukum pidana murni, padahal secara internasional narkotika lebih diatur dalam aspek medis dan kriminal khusus? Yang jelas, jika sistem hukum tidak segera direformasi, pendekatan represif terhadap penyalah guna hanya akan menjadi jalan buntu dalam perang melawan narkotika. (**/).